Oleh : Rie Ramadlani
Bondan pulang sekolah dengan keringat bercucuran. Hatinya panas, sepanas matahari siang itu. Ia sedang kesal karena ban sepedanya bocor di tengah jalan, padahal uang sakunya terlanjur habis untuk jajan. Terpaksa ia tuntun sepedanya sampai rumah. Sesampainya di rumah, ia ingin langsung makan lalu tidur karena lapar dan kelelahan. Akan tetapi, dilihatnya meja makan kosong melompong. Tanpa pikir panjang, jambangan bunga ibunya dibanting hingga pecah berkeping-keping. Sejam kemudian, kakaknya datang dengan membawa bungkusan makanan. Orang tua mereka memang sedang keluar kota, tapi Bondan lupa karena terbakar emosi.
Bandingkan dengan kisah yang ini. Suatu hari di sebuah tempat ibadah, datang seorang laki-laki dari kampung nun jauh di pelosok negeri. Tanpa menghiraukan orang-orang yang tengah berkumpul, ia buang air di sudut bangunan. Para jamaah kaget dan siap menghajar laki-laki ngawur itu. Tetapi dengan sigap pimpinan mereka ambil tindakan. Jamaah yang sedang marah ditenangkan, orang kampung tadi dibiarkan menuntaskan hajatnya terlebih dahulu, lalu diajak bicara dengan wajah penuh senyuman bercahaya.
“Ah, kita kan tak selevel dengan Nabi,” tukasmu sinis. “Kalau Nabi, wajarlah bisa tak marah sama sekali!”
Ya, cerita yang kedua memang cuplikan dari kisah hidup Nabi kita. Tapi hei, bukan berarti karena kita bukan Nabi lantas kita pantas marah-marah seenak hati. Justru kemarahan itu tantangan besar yang harus ditaklukkan oleh diri kita sendiri.
Ngomong-ngomong soal marah, jadi ingin merenungi hidupku sendiri. Aku dulu gampang marah. Parahnya, sekali aku marah, kemarahan itu tercetak nyata di wajah, suara, dan semua gerak-gerikku. Tak jarang ini menimbulkan masalah baru.
Hingga pada suatu hari, aku menemukan cara untuk menenangkan diri. Jika sedang marah, aku membayangkan sebuah ruangan yang gelap dan sepi. Tempat yang tak pernah terjamah orang lain, ia sepenuhnya milikku. Di sana sangat aman, aku bebas menyembunyikan segala aib, rahasia, asa, dan juga cinta :) Termasuk pula rasa marah, entah itu yang memang seharusnya ada, maupun yang tak seharusnya ada. Tempat itu ada di salah satu sudut dalam hatiku.
Pemikiran ini mulai muncul sejak aku mengikuti salah satu training kepemimpinan. Di sana, ada yang diam-diam menancap begitu dalam di benakku; nasehat bijak seorang kakak. Kala itu, dia sang pembicara bertutur pada forum, “Seorang pemimpin harus selalu punya ruang tersembunyi dalam dirinya untuk menyembunyikan segala kekecewaan.”
Jlebb. Begitu saja pesan itu menikam pusat memori di hatiku. Tanpa penolakan, tidak ada bantahan, tak sempat terbersit sedikitpun keragu-raguan. Aku yang pada saat itu tergolong orang yang sangat mudah marah, mendadak memiliki paradigma baru tentang kemarahan. Bahwa ternyata, tidak selalu kita berhak marah untuk apapun yang kita mau. Benarlah kata pembicara itu..
Saudaraku, sejatinya setiap kita adalah pemimpin. Minimal pemimpin bagi diri kita sendiri. Yang namanya pemimpin itu pasti akan selalu besinggungan dengan berbagai urusan di luar dirinya. Ada yang tidak sepakat atas keputusan yang kita buat. Banyak orang tidak melakukan apa yang menurut kita ‘seharusnya…’. Saat kita mengajukan ide untuk perubahan yang positif, ada saja yang tidak memahami maksud baik kita dan justru menyalahkannya. Bisa juga tiba-tiba seseorang datang dan menghancurkan sebuah rencana sempurna, padahal awalnya dia tidak ada hubungannya dengan rencana kita.
Kecewa. Marah. Lantas itu yang muncul? Wajar. Sangat manusiawi jika rasa itu hadir. Namun bukan berarti kita boleh kalah pada amarah, lalu emosi diperturutkan hingga kemudian segalanya jadi makin berantakan.
Setidaknya, jaga agar muka jelekmu tidak tertangkap oleh mata-mata lugu tak bersalah yang sedang punya urusan lain juga denganmu. Mereka tak layak jadi tempat pelampiasan marah itu. Janganlah kau cederai hati mereka. Ditambah lagi, kau harus ingat bahwasanya hati tiap-tiap orang itu tidak sama tekstur serta kerapuhannya.
Ada kotak peredam kecil dalam diri kita—yang—bila digunakan sebagaimana mestinya, kita akan merasa jauh lebih baik di dalam, dan yang di luar juga bisa berjalan dengan lebih mulus tertata. Kotak peredam ini hanya bisa dioperasikan oleh pemiliknya sendiri. Kalau ia difungsikan, secara psikologis kita akan merasa jauh lebih tenang, mampu menjadi jernih dalam memandang persoalan. Dalam kehidupn sosial, kita akan dikelilingi oleh orang-orang yang ternyata bisa lebih menyenangkan daripada yang kita kenal sebelumnya, padahal orang-orangnya sama. Dan bukan mustahil, prestasi dan karir kita akan melejit bahkan tanpa diduga-duga. Itulah dahsyatnya manfaat pengendalian emosi.
So, jangan mau terus-terusan jadi orang pemarah. Kalau kau mulai marah, temukan segera kotak peredam itu, lalu gunakanlah pada saat yang tepat. Tidak sulit melakukannya, asal kau tidak lupa minta Tuhan memudahkannya.
Terima kasih banyak untukmu yang sudah sudi menyempatkan diri membaca coretan ini. Dan salam semangat untuk Orang Sanguinis dimanapun berada. Calm down ^_^
Untuk diriku sendiri yg selalu saja diuji.. [Rie]